”MERINDUKAN
SOSOK AYAH, SEPERTI DULU..”
Huft.. huft.. huft. “pagi bu, maaf
terlambat” aku mencoba menarik napas, “iya nak, silahkan langsung duduk saja”.
Hari ini aku telat lagi, sepertinya ini
sudah menjadi kebiasaan. Meski sudah berusaha untuk bangun lebih pagi, tetapi
usaha itu sia-sia saja. Setiap pagi perdebatan antara aku dan ayah tak
terhindarkan. Sejak ibu meninggal sifat ayah menjadi seperti itu, ayah menjadi
sering memarahiku saat aku memulai percakapan dengannya.
“Ren, kamu telat lagi?” sahabatku
Rangga bertanya. Tetapi aku tak menghiraukannya karena menurutku ia sudah
mengetahui jawaban dari pertanyaannya itu. “kenapa sih, apakah pagi ini kau
bertengkar lagi dengan ayahmu?” Rangga bertanya sambil mencatat materi
perkuliahan yang dipresentasikan. Ku ambil peralatan menulisku sambil
menjawabnya “ya begitulah, berdebatan yang sengit.!”. Aku memulai perdebatan
pagi ini, dengan melontarkan sedikit pertanyaan kepada ayah “kenapa sih yah?”.
Ayah menjawabku dengan pembicaraan panjang, dan semakin lama pembicaraan itu
membuatku merasa terpojok.
Ayah yang selama ini tidak begitu
memperhatikanku, ia ingin mencalonkan dirinya sebagai direktur dikampus tempatku
berkuliah. Ku rasa ayah belum bisa menjadi calon pemimpin. Dulu ayah mempunyai pribadi yang hangat dan
penuh kasih sayang, yang menggambarkan sosok
pemimpin yang sebenarnya.. Sejak kecil, aku selalu diajari segala hal
olehnya. Namun, sejak ibu meninggal saatku duduk dibangku kelas enam SD. Sifat
itu menghilang dari dirinya.
“aku pulang..” terlihat ruang
keluarga begitu gelap dan sepi. Nampaknya ayah akan kembali pulang malam hari
ini. “halo ga, main PS yuk.!” Aku memegang telepon sambil merengutkan bibirku.
“iya halo ren, main PS? Oke deh” sahabatku rangga selalu ada buatku. Kami
berteman sejak kelas 1 SMP, saat itu aku sebangku dengannya. Sejak kehadiran
ayah seakan tiada, Rangga selalu menemaniku dan kami selalu bermain bersama.
Jam sudah menunjukkan waktu tengah
malam, aku belum saja terasa mengantuk. Beberapa jam yang lalu, tak lama
sesudah Rangga meninggalkan rumah ini. Suara pintu rumah terdengar membuka,
sepertinya ayah sudah pulang dari kegiatannya. Sambil merebahkan tubuh dan
memandangi atap, aku selalu berpikir. Perbincangan apa lagi yang membuat
sarapanku menjadi hambar pada esok hari.
Hari ini adalah hari dimana amarahku
mencapai puncaknya. Ayah menamparku saatku mengungkapkan rasa kecewa dan
melarang pencalonan dirinya menjadi direktur. Ini pertama kalinya ia
menamparku. Air mata yang sudah lama terbendung, meluap dan membanjiri
pakaianku. Aku segera pergi meninggalkan rumah, menggunakan motor peninggalan
ibu. Aku mengendarainya dengan sangat cepat, berharap sampai disebuah tempat
dimana ibu berada.
Aku terus menarik gas sambil
menghilangkan air mata yang terus mengalir. Di persimpangan jalan, keinginanku
bertemu dengan ibu selangkah lagi terwujud. Truk besar pengangkut pasir, dengan
kecepatan tinggi menabrakku dari arah samping dan menyeretku beberapa meter.
Dengan pandangan yang agak kabur, terlihat orang-orang berlari ke arahku. Saat
darah terus mengalir dari kepala, tidak ada hal lain yang terpikirkan olehku
selain ibu.
Aku terbangun disuatu tempat “Rendy
Saputra Utomo, apakah benar namamu?” terlihat seorang wanita berpakaian suster
sedang melambaikan tangannya. Disebelah kiriku terlihat ayah yang terus
menatapku, tatapan itu tidak biasa. Tepat dibelakang ayahku, temanku Rangga
sedang melihatku sambil tersenyum. “Iya sus benar sekali..” suster itu mencatat
dan terus memeriksa keadaan kepalaku yang diselimuti oleh perban.
Setelah suster
selesai memeriksa, ayah menyuruh Rangga untuk menunggu diluar ruangan. Ayah memelukku
dengan lembut. Dengan meneteskan air mata, ia menungkapkan perasaannya yang tak
mau kehilanganku. Ia meminta maaf dan berkata padaku, bahwa ia membatalkan
pencalonan dirinya sebagai Direktur.
Aku senang setelah
terbangun dari tidur panjangku, sosok ayah yang kurindukan sejak lama telah
kembali. Ia begitu hangat dan penuh kasih sayang. Meski ia membatalkan
pencalonan dirinya sebagai Direktur. Namun, ia tetap selalu menjadi Direktur
dalam kehidupanku.”Love you ayah..”.
TAMAT.
Penulis
Sabar Puji Prayetno
Komentar
Posting Komentar